Korupsi,
Cermin Kusam Reformasi
Melqy
de rantau
Pelbagai
persoalan yang multikompleks seolah tak kunjung berhenti melanda bangsa ini.
Ironisnya lagi, hampir tak satu pun persoalan yang kian silih berganti bisa
terselesaikan secara tuntas. Apalagi, persoalan tersebut ada “tendensi politiknya”
misalnya persoalan korupsi yang melibatkan sejumlah partai, tentu proses penyelesaianya
pun akan diselesaikan secara politik. Pemicunya tidak lain karena mayoritas
penyelenggara Negara (stakeholder) saling sandera di antara mereka.
Kepentingan kelompok menjadi agenda penting dan misi awal yang tidak bisa
dipisahkan. Ambisi untuk mendapatkan kekuasaan adalah prioritas utama, dan
rakyatlah yang menjadi korbannya. Alih-alih akan memperjuangkan kepentingan
rakyat. Nyatanya malah lebih terlena dalam pusaran kekuasaan. Inilah cermin
kusam wajah demokrasi kita, karena demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi
para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam
organ-organ negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tingi.
Padahal, jika menelisik pada aspek historisnya, demokrasi lahir bertujuan bisa menegakkan
hukum seadil-adilnya. Alexis de Tocqueville dalam Democracy, Revolution, and
Society, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi (2011) dalam tulisannya
“Membumikan Empat Pilar” mengatakan, bahwa akar-akar sosial lahirnya demokrasi
bertujuan untuk menegakkan hukum (rule of
law). Oleh karena, sejatinya hukum
semestinya menjadi panglima, menjunjung tinggi prinsip ecuality before of
law adalah keharusan yang tak terelakkan. Sebab, dalam Negara hukum ecuality
before of law adalah substansi dari demokrasi itu sendiri.
Reformasi
Vs Korupsi
Jika
melihat pada ranah politik “politik sandera” kedepan tentu akan semakin
mengeras apalagi tahun 2013 yang di prediksi oleh pelbagai kalangan akan menjadi
tahun politik, karena sejumlah kasus-kasus besar dimungkinkan akan di ungkap kepermukaan
sebagai salah satu kuda tunggangan untuk mendeligitimasinya. Sebab, kasus-kasus
besar semisal megaskandal Century, Hambalang, kasus suap dan korupsi pengadaan
Al-qur’an yang juga melibatkan pertarungan tiga parpol besar, yakni Demokrat,
Golkar, dan PDI-P akan dibongkar habis-habisan. Dan tentunya, kasus besar ini menjadi
“lahan empuk” dan berpotensi menguntungkan bagi parpol yang punya kepentingan
2014 mendatang sebagai “kredit politik”. Namun, terlepas dari itu, persoaln
yang paling krusial yang mesti di selesaikan secara kolektif adalah
fenomina maraknya praktik korupsi yang kian menggunung dan menggurita. Agenda besar
reformasi tak lain adalah memberantas korupsi dan menegakkan hukum yang seadil-adilnya.
Tetapi, agenda reformasi ini berbalik arah dan tak sebanding lurus. Sebab di
era reformasi yang serba demokrasi ini praktik korupsi justru semakin bersemi
dalam lingkaran kekuasaan kleptokrasi. Ironisnya, para pejuang reformasi 1998
malah ikut terjebak dalam pusaran kekuasaan dan sistem yang korup dan menjadi
terlena dengan “kursi empuk”. Oleh karena itu, reformasi yang sejak awal ingin
mewujudkan negeri yang jauh dari korupsi mesti diluruskan kembali meskipun
amanat reformasi 1998, telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera
keluar dari kanker korupsi. Yaitu dengan cara menelisik secara holistik kenapa
praktik korupsi kian akut dan apa sumbu persoalannya? Menurut Moh. Masyhuri
Na’im dalam buku NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (2006), menagatakan
setidaknya ada lima hal yang memungkinkan korupsi berkembang cepat tumbuh
subur. Pertama, pemerintah telah berubah menjadi lembaga transaksi
kekuasaan dan memonopoli pembuatan keputusan. Kedua, adanya hyper
consumerism. Orang banyak melakukan korupsi karena didorong oleh gaya hidup
hedonistik yang berlebihan. Fenomina maraknya korupsi bisa dilihat sebagai
korban dari hyper globalization, anak
kandung yang sah dari hyper capitalism.
Ketiga, adanya kekuasaan dan gaji
yang tidak seimbang. Keempat, korupsi
dipersepsi sebagai tuntutan perubahan. Korupsi tidak lagi dipermasalahkan
sebagai perbutan tercela, tetapi sebagai masalah partisipasi sosial atau
tuntutan perubahan sosial dan dapat disebut sebagai sindrom anomi. Kelima, salah satu akar dari korupsi
adalah perilaku pembiaran oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan
korupsi adalah hal yang wajar dan biasa.
Kolektif Kolegial
Gurita korupsi di negeri ini semakin melilit karena
lingkaran kekuasaan “kleptokrasi” semakin membusuk. Lord
Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli,
atau karena adanya kekuasaan yang mutlak. Artinya, siapa pun
yang berkuasa maka dia akan mendapatkan peluang untuk melakukan korupsi sebesar
kekuasaannya itu sendiri. korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan
kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah. Maka tak heran kalau praktik korupsi yang terjadi
selama ini selalu melibatkan para pemegang kekuasaan, karena praktik korupsi
dilakukan secara “berjamaah” dan berkait kelindan. Oleh karena itu, menurut perspektif
penulis setidaknya ada tiga hal untuk bisa keluar dari belenggu korupsi di
negeri ini. Pertama, harus ada kesadaran multilevel stakeholder secara
massif. Dalam konteks ini, praktik korupsi di negeri ini dapat diberantas
apabila dilakukan secara kolektif kolegial, yakni melalui hubungan yang
sinergis antara aparat penegak hukum KPK, Polri, Kejagung dengan masyarakat,
yaitu menggunakan fungsi demokrasi check and balance di antara satu sama
lain. Selain itu, komitmen masyarakat dalam mendorong agenda pemberantasan
korupsi di negeri seharusnya diikuti oleh kebijakan yang menjaminan
perlindungan terhadap rakyat, misalnya perlunya diterbitkan UU Perlindungan
saksi, karena masyarakat yang melaporkan kasus korupsi sering terancam, Kedua,
perbaikilah sistem yang sekiranya rentan memunculkan peluang untuk korupsi. Ketiga,
wacana pemiskinan koruptor segera dilaksanakan karena langkah ini jelas
akan memberikan efek jera bagi
koruptor. Bahkan, penulis sangat responsif terhadap wacana “kebun koruptor”
yang sempat dilontarkan ketua MK Mahfud MD beberapa bulan lalu. Setidaknya bisa
menjadi penyadaran dan terapi yang manjur bagi koruptor agar tidak mengulangi
lagi. Benny Susetyo dalam bukunya Hancurnya Etika Politik (2004),
mengatakan bahwa pelanggaran terhadap martabat manusia harus dikategorikan
sebagai kejahatan kelas kakap yang justru lebih keji dari pembunuhan secara
individual. Karena itu, dengan menafsirkan, bahwa korupsi serta perbuatan
sejenisnya melanggar nilai-nilai suci agama maka diharapkan orang akan berfikir
ulang untuk melakukan korupsi. Dan kita sebagai bangsa dengan sepenuh hati
hendaknya malu dan berusaha untuk membongkar mitos sebagai bangsa koruptor.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar