Selasa, 29 Januari 2013


Korupsi, Cermin Kusam Reformasi
Melqy de rantau
Pelbagai persoalan yang multikompleks seolah tak kunjung berhenti melanda bangsa ini. Ironisnya lagi, hampir tak satu pun persoalan yang kian silih berganti bisa terselesaikan secara tuntas. Apalagi, persoalan tersebut ada “tendensi politiknya” misalnya persoalan korupsi yang  melibatkan sejumlah partai, tentu proses penyelesaianya pun akan diselesaikan secara politik. Pemicunya tidak lain karena mayoritas penyelenggara Negara (stakeholder) saling sandera di antara mereka. Kepentingan kelompok menjadi agenda penting dan misi awal yang tidak bisa dipisahkan. Ambisi untuk mendapatkan kekuasaan adalah prioritas utama, dan rakyatlah yang menjadi korbannya. Alih-alih akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Nyatanya malah lebih terlena dalam pusaran kekuasaan. Inilah cermin kusam wajah demokrasi kita, karena demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam organ-organ negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tingi. Padahal, jika menelisik pada aspek historisnya, demokrasi lahir bertujuan bisa menegakkan hukum seadil-adilnya. Alexis de Tocqueville dalam Democracy, Revolution, and Society, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi (2011) dalam tulisannya “Membumikan Empat Pilar” mengatakan, bahwa akar-akar sosial lahirnya demokrasi bertujuan untuk menegakkan hukum (rule of law). Oleh karena,  sejatinya hukum semestinya menjadi panglima, menjunjung tinggi prinsip ecuality before of law adalah keharusan yang tak terelakkan. Sebab, dalam Negara hukum ecuality before of law adalah substansi dari demokrasi itu sendiri.
Reformasi Vs Korupsi  
Jika melihat pada ranah politik “politik sandera” kedepan tentu akan semakin mengeras apalagi tahun 2013 yang di prediksi oleh pelbagai kalangan akan menjadi tahun politik, karena sejumlah kasus-kasus besar dimungkinkan akan di ungkap kepermukaan sebagai salah satu kuda tunggangan untuk mendeligitimasinya. Sebab, kasus-kasus besar semisal megaskandal Century, Hambalang, kasus suap dan korupsi pengadaan Al-qur’an yang juga melibatkan pertarungan tiga parpol besar, yakni Demokrat, Golkar, dan PDI-P akan dibongkar habis-habisan. Dan tentunya, kasus besar ini menjadi “lahan empuk” dan berpotensi menguntungkan bagi parpol yang punya kepentingan 2014 mendatang sebagai “kredit politik”. Namun, terlepas dari itu, persoaln yang paling krusial yang mesti di selesaikan secara kolektif adalah fenomina maraknya praktik korupsi yang kian menggunung dan menggurita. Agenda besar reformasi tak lain adalah memberantas korupsi dan menegakkan hukum yang seadil-adilnya. Tetapi, agenda reformasi ini berbalik arah dan tak sebanding lurus. Sebab di era reformasi yang serba demokrasi ini praktik korupsi justru semakin bersemi dalam lingkaran kekuasaan kleptokrasi. Ironisnya, para pejuang reformasi 1998 malah ikut terjebak dalam pusaran kekuasaan dan sistem yang korup dan menjadi terlena dengan “kursi empuk”. Oleh karena itu, reformasi yang sejak awal ingin mewujudkan negeri yang jauh dari korupsi mesti diluruskan kembali meskipun amanat reformasi 1998, telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera keluar dari kanker korupsi. Yaitu dengan cara menelisik secara holistik kenapa praktik korupsi kian akut dan apa sumbu persoalannya? Menurut Moh. Masyhuri Na’im dalam buku NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (2006), menagatakan setidaknya ada lima hal yang memungkinkan korupsi berkembang cepat tumbuh subur. Pertama, pemerintah telah berubah menjadi lembaga transaksi kekuasaan dan memonopoli pembuatan keputusan. Kedua, adanya hyper consumerism. Orang banyak melakukan korupsi karena didorong oleh gaya hidup hedonistik yang berlebihan. Fenomina maraknya korupsi bisa dilihat sebagai korban dari hyper globalization, anak kandung yang sah dari hyper capitalism. Ketiga, adanya kekuasaan dan gaji yang tidak seimbang. Keempat, korupsi dipersepsi sebagai tuntutan perubahan. Korupsi tidak lagi dipermasalahkan sebagai perbutan tercela, tetapi sebagai masalah partisipasi sosial atau tuntutan perubahan sosial dan dapat disebut sebagai sindrom anomi. Kelima, salah satu akar dari korupsi adalah perilaku pembiaran oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan korupsi adalah hal yang wajar dan biasa.
Kolektif Kolegial
Gurita korupsi di negeri ini semakin melilit karena lingkaran kekuasaan “kleptokrasi” semakin membusuk. Lord Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 mengatakan Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli, atau karena adanya kekuasaan yang mutlak. Artinya, siapa pun yang berkuasa maka dia akan mendapatkan peluang untuk melakukan korupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah. Maka tak heran kalau praktik korupsi yang terjadi selama ini selalu melibatkan para pemegang kekuasaan, karena praktik korupsi dilakukan secara “berjamaah” dan berkait kelindan. Oleh karena itu, menurut perspektif penulis setidaknya ada tiga hal untuk bisa keluar dari belenggu korupsi di negeri ini. Pertama, harus ada kesadaran multilevel stakeholder secara massif. Dalam konteks ini, praktik korupsi di negeri ini dapat diberantas apabila dilakukan secara kolektif kolegial, yakni melalui hubungan yang sinergis antara aparat penegak hukum KPK, Polri, Kejagung dengan masyarakat, yaitu menggunakan fungsi demokrasi check and balance di antara satu sama lain. Selain itu, komitmen masyarakat dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi di negeri seharusnya diikuti oleh kebijakan yang menjaminan perlindungan terhadap rakyat, misalnya perlunya diterbitkan UU Perlindungan saksi, karena masyarakat yang melaporkan kasus korupsi sering terancam, Kedua, perbaikilah sistem yang sekiranya rentan memunculkan peluang untuk korupsi. Ketiga, wacana pemiskinan koruptor segera dilaksanakan karena langkah ini jelas akan memberikan efek jera bagi koruptor. Bahkan, penulis sangat responsif terhadap wacana “kebun koruptor” yang sempat dilontarkan ketua MK Mahfud MD beberapa bulan lalu. Setidaknya bisa menjadi penyadaran dan terapi yang manjur bagi koruptor agar tidak mengulangi lagi. Benny Susetyo dalam bukunya Hancurnya Etika Politik (2004), mengatakan bahwa pelanggaran terhadap martabat manusia harus dikategorikan sebagai kejahatan kelas kakap yang justru lebih keji dari pembunuhan secara individual. Karena itu, dengan menafsirkan, bahwa korupsi serta perbuatan sejenisnya melanggar nilai-nilai suci agama maka diharapkan orang akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Dan kita sebagai bangsa dengan sepenuh hati hendaknya malu dan berusaha untuk membongkar mitos sebagai bangsa koruptor.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar