Reshuffle Bukan Sekadar Bongkar Pasang Kabinet
Melqy de rantau
Pascamundurnya Andi Alfian Malaranggeng sebagai Menpora isu reshuffle
kabinet kian menggema di wacanakan, meski mengundang kalkulasi-kalkulasi
prediktif terkait dengan sosok yang akan diganti. Bahkan sekjen PPP M Rohamurmuziy meyakini presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memutuskan terkait reshuffle kabinet akan dilakukan setelah berakhir tahun anggaran
2012. Dan di awal tahun 2013, dan nanti berbasis kinerja bukan like and dislike atau pertimbangan
politik semata, (Detik News26/12/2012). Namun yang pasti hanya Tuhan dan SBY sendiri yang tahu kapan dan
siapa saja yang akan diganti. Sebab, secara yuridis reshuffle adalah hak
prerogatif presiden. Reshuffle adalah sebuah keharusan jika kinerja
menteri tidak memuaskan publik. Indikator utama dalam mengukur baik buruknya
kinerja menteri tak lepas dari hasil evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Sejauh ini kinerja kabinet tidak maksimal dan menunjukkan
rapor merah terutama kementerian pemuda dan olahraga. Terlepas dari itu semua, jika
reshuffle kali ini benar-benar terjadi, paling tidak reshuffle mampu dan menjawab
pelbagai problem kenegaraan yang tak kunjung selesai, serta bisa membawa
perubahan ke arah yang baik. Oleh karena itu, reshuffle jangan hanya
sekedar bongkar pasang kabinet yang tidak berbasis kompetensi. Tetapi reshuffle
harus memperbaiki kinerja dan menghasilkan sesuatu yang baik bagi rakyat negeri
ini.
Momentum Perbaikan
Reshuffle kali ini
menemukan momentum yang tepat mengingat kinerja pemerintahan SBY-Budeono saat
ini tidak memuaskan publik. Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya tentang penegakan dan
pemberantasan korupsi di masa pemerintahan presiden SBY. Hasilnya, Kejaksaan
Agung dinilai 33,2 persen bersih dari korupsi, sedangkan Polri 39,3 persen.
Sementara KPK memperoleh 38,5 persen, TNI 57,2 persen, presiden 51 persen, Bank
Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9
persen, BPK 33,8 persen, DPR 31,1 persen, dan partai politik 30,2 persen. Hasil
survei ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan
hukum. Oleh karenanya, reshuffle kali ini menjadi keharusan karena
SBY-Budeono gagal menjalankan pemerintahan. Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, mengatakan
secara kasatmata ada tiga aspek. Pertama,
janji pemberantasan korupsi yang jauh dari realitas. Kedua, penyerapan
anggaran yang sangat rendah. Ketiga, masalah lambatnya pengambilan
keputusan terhadap pelbagai persoalan krusial yang membutuhkan penanganan cepat
(SINDO, 19/9).
Tantangan
Oleh karena itu, reshuffle kabinet kali ini semestinya mempertimbangkan
pelbagai aspek serta dilandaskan pada hasil evaluasi kinerja yang tidak
memuaskan publik. Artinya, reshuffle idealnya harus jauh dari “transaksi
politik” dan bisa keluar dari “sandera politik” partai koalisi yang hanya
sekedar bongkar pasang kabinet dan menguntungkan partai koalisi. Tetapi,
reshuffle harus memperimbangkan pelbaga aspek, yaitu kapabilitas dan
integritas. Jika pertimbangan ini direalisasikan, maka reshuffle bisa
menciptakan tatanan pemerintahan yang progresif kedepan, serta meringankan
beban dan kinerja pemerintahan SBY–Budeono. Reshuffle kabinet merupakan
jalan akhir untuk memperbaiki kinerja yang tidak memuaskan publik. Sementara
pada sisi lain reshuffle adalah “jawaban terakhir” untuk mengakhiri
kegaduhan politik yang kian memanas. apalagi pada ranah lain problem kenegaraan
tak kunjung selesai, seperti korupsi dan penegakan hokum. Inilah sumbu utama
problem yang dihadapi bangsa. Maka, harapan kedepan reshuffle bisa
menghasilkan kinerja yang progresif kedepan serta menjadi jawaban yang efektif
untuk memaksimalkan kinerja pemerintahan SBY-Budeono. Oleh karena itu,
setidaknya terdapat tiga tantangan. Pertama, reshuffle harus bisa
menjawab pelbagai problem yang mendera bangsa saat ini, seperti korupsi,
kemiskinan, dan rendahnya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kedua,, reshuffle
tidak hanya sekedar mengganti atau menggeser sosok, tapi terkait landasan di
balik pergantian tersebut, serta misi yang hendak dijalankan dan tujuan yang
harus dicapai. Ketiga, SBY harus lebih tegas terhadap partai koalisi. Dalam
konteks ini, SBY harus berani keluar dari sandera politik yang sering bikin
kegaduhan politik dalam koalisi. Inilah yang dikatakan A Bakir Ihsan dalam
bukunya Politik Tak Hanya Kekuasaan: Sisi
Lain Kepemimpinan Presiden SBY (2012), partai politik terkadang berwujud
sekadar gerombolan kepentingan daripada jembatan bagi pengentasan aspirasi
rakyat. Padahal, sejatinya keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar
utama demokrasi seharusnya lebih mementingkan kesejahteraan rakyat sesuai
dengan tujuan awal lahirnya demokrasi, yaitu cita-cita mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, reshuffle
memang bukan segala-galanya, namun paling tidak bisa menghadirkan optimisme
baru di tengah menurunnya harapan masyarakat terhadap pemerintah. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar