Selasa, 29 Januari 2013


Reshuffle Bukan Sekadar Bongkar Pasang Kabinet  
Melqy de rantau
Pascamundurnya Andi Alfian Malaranggeng sebagai Menpora isu reshuffle kabinet kian menggema di wacanakan, meski mengundang kalkulasi-kalkulasi prediktif terkait dengan sosok yang akan diganti. Bahkan sekjen PPP M Rohamurmuziy meyakini presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memutuskan terkait reshuffle kabinet akan dilakukan setelah berakhir tahun anggaran 2012. Dan di awal tahun 2013, dan nanti berbasis kinerja bukan like and dislike atau pertimbangan politik semata, (Detik News26/12/2012). Namun yang pasti hanya Tuhan dan SBY sendiri yang tahu kapan dan siapa saja yang akan diganti. Sebab, secara yuridis reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Reshuffle adalah sebuah keharusan jika kinerja menteri tidak memuaskan publik. Indikator utama dalam mengukur baik buruknya kinerja menteri tak lepas dari hasil evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Sejauh ini  kinerja kabinet tidak maksimal dan menunjukkan rapor merah terutama kementerian pemuda dan olahraga. Terlepas dari itu semua, jika reshuffle kali ini benar-benar terjadi, paling tidak reshuffle mampu dan menjawab pelbagai problem kenegaraan yang tak kunjung selesai, serta bisa membawa perubahan ke arah yang baik. Oleh karena itu, reshuffle jangan hanya sekedar bongkar pasang kabinet yang tidak berbasis kompetensi. Tetapi reshuffle harus memperbaiki kinerja dan menghasilkan sesuatu yang baik bagi rakyat negeri ini.
Momentum Perbaikan
Reshuffle kali ini menemukan momentum yang tepat mengingat kinerja pemerintahan SBY-Budeono saat ini  tidak memuaskan publik. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya tentang penegakan dan pemberantasan korupsi di masa pemerintahan presiden SBY. Hasilnya, Kejaksaan Agung dinilai 33,2 persen bersih dari korupsi, sedangkan Polri 39,3 persen. Sementara KPK memperoleh 38,5 persen, TNI 57,2 persen, presiden 51 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, BPK 33,8 persen, DPR 31,1 persen, dan partai politik 30,2 persen. Hasil survei ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Oleh karenanya, reshuffle kali ini menjadi keharusan karena SBY-Budeono gagal menjalankan pemerintahan. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, mengatakan secara kasatmata ada  tiga aspek. Pertama, janji pemberantasan korupsi yang jauh dari realitas. Kedua, penyerapan anggaran yang sangat rendah. Ketiga, masalah lambatnya pengambilan keputusan terhadap pelbagai persoalan krusial yang membutuhkan penanganan cepat (SINDO, 19/9).
Tantangan
Oleh karena itu, reshuffle kabinet kali ini semestinya mempertimbangkan pelbagai aspek serta dilandaskan pada hasil evaluasi kinerja yang tidak memuaskan publik. Artinya, reshuffle idealnya harus jauh dari “transaksi politik” dan bisa keluar dari “sandera politik” partai koalisi yang hanya sekedar bongkar pasang kabinet dan menguntungkan partai koalisi. Tetapi, reshuffle harus memperimbangkan pelbaga aspek, yaitu kapabilitas dan integritas. Jika pertimbangan ini direalisasikan, maka reshuffle bisa menciptakan tatanan pemerintahan yang progresif kedepan, serta meringankan beban dan kinerja pemerintahan SBY–Budeono. Reshuffle kabinet merupakan jalan akhir untuk memperbaiki kinerja yang tidak memuaskan publik. Sementara pada sisi lain reshuffle adalah “jawaban terakhir” untuk mengakhiri kegaduhan politik yang kian memanas. apalagi pada ranah lain problem kenegaraan tak kunjung selesai, seperti korupsi dan penegakan hokum. Inilah sumbu utama problem yang dihadapi bangsa. Maka, harapan kedepan reshuffle bisa menghasilkan kinerja yang progresif kedepan serta menjadi jawaban yang efektif untuk memaksimalkan kinerja pemerintahan SBY-Budeono. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga tantangan. Pertama, reshuffle harus bisa menjawab pelbagai problem yang mendera bangsa saat ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan rendahnya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kedua,, reshuffle tidak hanya sekedar mengganti atau menggeser sosok, tapi terkait landasan di balik pergantian tersebut, serta misi yang hendak dijalankan dan tujuan yang harus dicapai. Ketiga, SBY harus lebih tegas terhadap partai koalisi. Dalam konteks ini, SBY harus berani keluar dari sandera politik yang sering bikin kegaduhan politik dalam koalisi. Inilah yang dikatakan A Bakir Ihsan dalam bukunya Politik Tak Hanya Kekuasaan: Sisi Lain Kepemimpinan Presiden SBY (2012), partai politik terkadang berwujud sekadar gerombolan kepentingan daripada jembatan bagi pengentasan aspirasi rakyat. Padahal, sejatinya keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi seharusnya lebih mementingkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan awal lahirnya demokrasi, yaitu cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat.  Oleh karena itu, reshuffle memang bukan segala-galanya, namun paling tidak bisa menghadirkan optimisme baru di tengah menurunnya harapan masyarakat terhadap pemerintah. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar