Memotret
Prospek Pemberantasan Korupsi
Melqy
de rantau
hasil
investigasi Indonesia Coruption Watch (ICW) per 1 Januari- 31 Juli 2012
ditemukan 285 kasus korupsi di tingkat pusat dan daerah. Dari jumlah itu, aktor
yang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum sebanyak 597 orang.
(Kompas, 04/11/2012)
Pelbagai
persoalan yang multikompleks seolah tak kunjung berhenti melanda bangsa ini.
Ironisnya lagi, hampir tak satu pun persoalan yang kian silih berganti bisa
terselesaikan secara tuntas. Apalagi, persoalan tersebut “bertendensi politik”
tentu penyelesainya pun secara politik. Pemicunya tak lain karena mayoritas
penyelenggara Negara (stakeholder) saling menyandera di antara mereka.
Kepentingan kelompok (partai) menjadi agenda penting dan misi awal yang tak
bisa dipisahkan. Ambisi untuk mendapatkan kekuasaan adalah prioritas utama, dan
rakyatlah yang menjadi korbannya. Inilah cermin kusam wajah demokrasi kita,
karena demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi
sumber-sumber yang tersedia dalam organ-organ negara yang selalu terkait dengan
praktik politik biaya tingi. Sementara pada ranah kekuasaan “politik sandera”
akan semakin mengeras apalagi tahun 2013 yang di prediksi oleh pelbagai
kalangan menjadi tahun politik, karena sejumlah kasus-kasus besar akan di
ungkap kepermukaan. Sebab, kasus-kasus besar semisal megaskandal Century,
Hambalang, kasus suap dan korupsi pengadaan Al-qur’an yang juga melibatkan
pertarungan tiga parpol besar, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P.
Tentu, kasus besar ini menjadi “lahan empuk” dan berpotensi menguntungkan bagi
setiap parpol sebagai “kredit politik”. Namun, terlepas dari itu, persoaln yang
paling krusial yang mesti di selesaikan secara kolektif adalah fenomina
maraknya praktik korupsi yang kian menggunung dan menggurita. Padahal, agenda
besar reformasi tak lain adalah memberantas korupsi dan menegakkan hukum
seadil-adilnya. Tetapi, agenda reformasi berbalik arah. Sebab di era reformasi
yang serba demokrasi ini praktik korupsi semakin bersemi dalam lingkaran
birokrasi-kleptokrasi. Ironisnya, para pejuang reformasi 98 malah ikut terjebak
dalam pusaran kekuasaan dan sistem yang korup dan mereka terlena dengan “kue
jabatannya”. Oleh karena itu, arah reformasi yang sejak awal ingin mewujudkan
negeri yang jauh dari korupsi mesti diluruskan kembali meskipun amanat
reformasi 1998, telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera keluar
dari kanker korupsi. Dan yang lebih penting harus ditelisik lebih holistik kenapa
praktik korupsi kian akut dan apa sumbu persoalannya? Menurut Moh. Masyhuri
Na’im dalam buku NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (2006),
menagatakan setidaknya ada lima hal yang memungkinkan korupsi berkembang cepat
tumbuh subur. Pertama, pemerintah telah berubah menjadi lembaga
transaksi kekuasaan dan memonopoli pembuatan keputusan. Kedua, adanya hyper
consumerism. Orang banyak melakukan korupsi karena didorong oleh gaya hidup
hedonistik yang berlebihan. Fenomina maraknya korupsi bisa dilihat sebagai
korban dari hyper globalization, anak
kandung yang sah dari hyper capitalism.
Ketiga, adanya kekuasaan dan gaji
yang tidak seimbang. Keempat, korupsi
dipersepsi sebagai tuntutan perubahan. Korupsi tidak lagi dipermasalahkan
sebagai perbutan tercela, tetapi sebagai masalah partisipasi sosial atau
tuntutan perubahan sosial dan dapat disebut sebagai sindrom anomi. Kelima, salah satu akar dari korupsi
adalah perilaku pembiaran oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan
korupsi adalah hal yang wajar dan biasa.
Melawan
Korupsi
Gurita korupsi di negeri ini semakin melilit karena
lingkaran kekuasaan “kleptokrasi” semakin membusuk. Lord
Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely. Great men are almost always bad men.” korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli,
atau karena adanya kekuasaan yang mutlak. Artinya, siapa pun
yang berkuasa maka dia akan mendapatkan peluang untuk melakukan korupsi sebesar
kekuasaannya itu sendiri. korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan
kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah.
Selain itu, komitmen masyarakat mendorong agenda
pemberantasan korupsi di negeri seharusnya diikuti oleh kebijakan yang
menjaminan perlindungan terhadap masyarakat, misalnya diterbitkan UU
Perlindungan saksi, karena masyarakat yang melaporkan kasus korupsi sering
terancam, Kedua, perbaikilah sistem yang sekiranya rentan memunculkan
peluang untuk korupsi. Benny Susetyo dalam bukunya Hancurnya Etika Politik
(2004), mengatakan bahwa pelanggaran terhadap martabat manusia harus
dikategorikan sebagai kejahatan kelas kakap yang justru lebih keji dari
pembunuhan secara individual. Karena itu, dengan menapsirkan bahwa korupsi
serta perbuatan sejenisnya melanggar nilai-nilai suci agama maka diharapkan
orang akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Dan kita sebagai bangsa
dengan sepenuh hati hendaknya malu dan berusaha untuk membongkar mitos sebagai
bangsa koruptoor.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar