Selasa, 29 Januari 2013


Memotret Prospek Pemberantasan Korupsi
Melqy de rantau
hasil investigasi Indonesia Coruption Watch (ICW) per 1 Januari- 31 Juli 2012 ditemukan 285 kasus korupsi di tingkat pusat dan daerah. Dari jumlah itu, aktor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum sebanyak 597 orang. (Kompas, 04/11/2012)


Pelbagai persoalan yang multikompleks seolah tak kunjung berhenti melanda bangsa ini. Ironisnya lagi, hampir tak satu pun persoalan yang kian silih berganti bisa terselesaikan secara tuntas. Apalagi, persoalan tersebut “bertendensi politik” tentu penyelesainya pun secara politik. Pemicunya tak lain karena mayoritas penyelenggara Negara (stakeholder) saling menyandera di antara mereka. Kepentingan kelompok (partai) menjadi agenda penting dan misi awal yang tak bisa dipisahkan. Ambisi untuk mendapatkan kekuasaan adalah prioritas utama, dan rakyatlah yang menjadi korbannya. Inilah cermin kusam wajah demokrasi kita, karena demokrasi ternyata membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam organ-organ negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tingi. Sementara pada ranah kekuasaan “politik sandera” akan semakin mengeras apalagi tahun 2013 yang di prediksi oleh pelbagai kalangan menjadi tahun politik, karena sejumlah kasus-kasus besar akan di ungkap kepermukaan. Sebab, kasus-kasus besar semisal megaskandal Century, Hambalang, kasus suap dan korupsi pengadaan Al-qur’an yang juga melibatkan pertarungan tiga parpol besar, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P. Tentu, kasus besar ini menjadi “lahan empuk” dan berpotensi menguntungkan bagi setiap parpol sebagai “kredit politik”. Namun, terlepas dari itu, persoaln yang paling krusial yang mesti di selesaikan secara kolektif adalah fenomina maraknya praktik korupsi yang kian menggunung dan menggurita. Padahal, agenda besar reformasi tak lain adalah memberantas korupsi dan menegakkan hukum seadil-adilnya. Tetapi, agenda reformasi berbalik arah. Sebab di era reformasi yang serba demokrasi ini praktik korupsi semakin bersemi dalam lingkaran birokrasi-kleptokrasi. Ironisnya, para pejuang reformasi 98 malah ikut terjebak dalam pusaran kekuasaan dan sistem yang korup dan mereka terlena dengan “kue jabatannya”. Oleh karena itu, arah reformasi yang sejak awal ingin mewujudkan negeri yang jauh dari korupsi mesti diluruskan kembali meskipun amanat reformasi 1998, telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera keluar dari kanker korupsi. Dan yang lebih penting harus ditelisik lebih holistik kenapa praktik korupsi kian akut dan apa sumbu persoalannya? Menurut Moh. Masyhuri Na’im dalam buku NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (2006), menagatakan setidaknya ada lima hal yang memungkinkan korupsi berkembang cepat tumbuh subur. Pertama, pemerintah telah berubah menjadi lembaga transaksi kekuasaan dan memonopoli pembuatan keputusan. Kedua, adanya hyper consumerism. Orang banyak melakukan korupsi karena didorong oleh gaya hidup hedonistik yang berlebihan. Fenomina maraknya korupsi bisa dilihat sebagai korban dari hyper globalization, anak kandung yang sah dari hyper capitalism. Ketiga, adanya kekuasaan dan gaji yang tidak seimbang. Keempat, korupsi dipersepsi sebagai tuntutan perubahan. Korupsi tidak lagi dipermasalahkan sebagai perbutan tercela, tetapi sebagai masalah partisipasi sosial atau tuntutan perubahan sosial dan dapat disebut sebagai sindrom anomi. Kelima, salah satu akar dari korupsi adalah perilaku pembiaran oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan korupsi adalah hal yang wajar dan biasa.
Melawan Korupsi
Gurita korupsi di negeri ini semakin melilit karena lingkaran kekuasaan “kleptokrasi” semakin membusuk. Lord Acton kepada Bishop Mandell Creighton di tahun 1877 mengatakan Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” korupsi itu sebagai anak kandung dari monopoli, atau karena adanya kekuasaan yang mutlak. Artinya, siapa pun yang berkuasa maka dia akan mendapatkan peluang untuk melakukan korupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. korupsi itu menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang-orang yang bekerja, terutama yang bekerja pada pemerintah.
Selain itu, komitmen masyarakat mendorong agenda pemberantasan korupsi di negeri seharusnya diikuti oleh kebijakan yang menjaminan perlindungan terhadap masyarakat, misalnya diterbitkan UU Perlindungan saksi, karena masyarakat yang melaporkan kasus korupsi sering terancam, Kedua, perbaikilah sistem yang sekiranya rentan memunculkan peluang untuk korupsi. Benny Susetyo dalam bukunya Hancurnya Etika Politik (2004), mengatakan bahwa pelanggaran terhadap martabat manusia harus dikategorikan sebagai kejahatan kelas kakap yang justru lebih keji dari pembunuhan secara individual. Karena itu, dengan menapsirkan bahwa korupsi serta perbuatan sejenisnya melanggar nilai-nilai suci agama maka diharapkan orang akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Dan kita sebagai bangsa dengan sepenuh hati hendaknya malu dan berusaha untuk membongkar mitos sebagai bangsa koruptoor.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar