Menyoal
Artis Maju Pilkada
Melqy
de rantau
Hiruk-pikuk
kompetisi politik pemilihan Gubernur Jabar, kali ini benar-benar menarik
perhatian publik. Sebab, dalam pertarungan politik menuju kursi Jabar satu, berbeda
jauh dengan pilkada sebelumnya, yaitu banyaknya artis yang maju dalam kompetisi
pemilihan Gubernur Jawa Barat. Setidaknya ada tiga artis yang bakalan
meramaikan pilkada Jabar kali ini, yaitu aktor kawakan Dedi Mizwar, Dede Yusup
yang saat ini masih menjabat wakil Gubernur Jabar, dan Rike Diah Pitaloka yang
saat ini masih berstatus sebagai angota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan serta
incumbent Ahmad Heryawan yang sudah
jelas diusung partai Demokrat.
Ikhwal,
dari tiga kontestan yang rekam jejaknya berlatar belakang artis dimungkinkan
akan mendulang suara yang signifikan. Melalui rangsangan popularitas dan
elektabilitas yang tinggi di mata konstituen, artis Dedi Mizwar, Dede Yusup dan
Rike Diah Pitaloka akan bersaing ketat dalam kompetisi pemilihan Gubernur dan
wakil Gubernur Jawa Barat. Sejauh ini, survey menunjukkan, bahwa tiga artis kawakan
ini menempati posisi yang tinggi dalam urutan tingkat elektabilitas cagub dan cawagub
Jawa Barat. Gun Gun Heryanto dalam bukunya Dinamika
Komunikasi Politik (2011) mengatakan, bahwa panggung hiburan dan panggung
politik sama-sama menuntut citra, reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain
di luar substansi peran dan tanggung jawab publik masing-masing. Salahkah para
artis ini terlibat di panggung politik? Tentu saja tidak, karena partisipasi
politik merupakan hak setiap warga negara. Terlebih, jika artis-artis itu sejak
awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti, dan
memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Namun pertanyaannya, apakah
ini sudah terbilang cukup “mewakili” hanya dengan modal popularitas dan
elektabilitas tinggi dalam memimpin atau menjadi kepala daerah? Hemat penulis tidak
cukup hanya bermodal popularitas dan elektabilitas saja, tetapi harus memiliki
sumber daya pengetahuan politik (SDPP) yang memadai, misalnya pengetahuan realitas
politik dan birokrasi pemerintahan. Selain itu, apakah mereka bisa berinteraksi
denga realitas politik praktis sementara dirinya tidak mempunyai jam terbang
politik yang bagus. Dan persoalan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Sebab,
menjadi pemimpin tidak seperti menjadi sutradara dalam film atau sinetron,
dimana kalau salah hanya bertanggungjawab terhadap pihak terkait. Berbeda
dengan menjadi kepala daerah, dimana tanggungjawabnya pun lebih berat, yaitu terhadap
rakyat di derah tersebut. Dalam konteks ini, sejatinya daya tarik para artis
yang melekat terhadap masyarakat kian meneguhkan dan meyakinkan untuk
memilihnya. Namun demikian, masyarakat harus cerdas dan bisa menilai track record dan jam terbang politik
demi masa depan Indonesia yang progres.
Demokrasi Yang Progres
Era
demokrasi elektoral kian memberikan kran terbuka bagi siapa pun termasuk para
artis di satu sisi, di sisi lain, perayaan demokrasi di pelbagai daerah
sepertinya akan menghadirkan demokrasi kita yang semakin progresif kedepan,
karena hijrahnya para artis ke panggung politik merupakan keniscayaan yang tak
terelakkan dalam negara demokrasi, karena para artis adalah warga negara yang
juga mempunyai hak dan dijamin oleh UUD 1945. Robert A. Dahl dalam bukunya Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan
Praktik Demokrasi Secara Singkat (2001), mengatakan bahwa demokrasi bukan
hanya sebuah proses memerintah. Karena hak adalah unsur penting dalam lembaga
politik demokratis, maka demokrasi itu pada intinya adalah juga suatu sistem
hak. Hak adalah salah satu bahan utama dalam membangun suatu proses
pemerintahan yang demokratis. Oleh karena, harapan kedepan dengan tampilnya
artis ke panggung politik akan menghadirkan ornament yang kian bersinar bagi
demokrasi Indonesia kedepan, paling tidak pilihan artis yang tampil ke panggung
politik akan membawa oase baru bagi masa depan politik Indonesia. Hal ini juga
kian mengukuhkan dan meyakinkan terhadap publik, bahwa keberadaan artis tidak
hanya sebagai pablik pigur, teapi ia juga bisa dan mampu menjadi pemimpin di
tengah kehidupan sosial masyarakat ke arah perubahan yang progresif.
Tantangan
Menjadi
pemimpin atau kepala derah merupakan tantangan dan tanggungjawab yang berat. Resiko
politik sudah barang tentu, mustahil jika kepala daerah yang sudah terpilih tidak
tersandera secara politik. Permainan halus melalui simbol-simbol dan kemasan politik
tertentu menjadi tantangan tersendiri kedepan, di sisi lain tantangan yang tidak
kalah beratnya adalah bagaimana selekas mungkin bisa merealisasikan komitmen
awal saat kampanye misalnya akan menjamin kesejahteraan masyarakat. Hemat
penulis kedepan ada beberapa tantangan yang akan dihadapi. Pertama, akan berhadapan dengan realitas politik praktis, dimana
jika menduduki posisi strategis semisal Gubernur atau wakilnya. Pelbagai
kebijakan yang dibuat akan selalu ada tawar-menawar politik. Mungkinkah para
artis mampu beradaptasi dengan realitas politik transaksional tersebut? Politik
(kekuasaan) memang terkadang menghalalkan segala cara. Di tempuh dengan
cara-cara di luar porsi manusia pun sudah biasa hanya untuk mempertahankan
kekuasaan saja. Robert A. Dahl dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang pertama The Concept of Power (1957), mengatakan
“A has power over B to the extent that he
can get B to do something that B would not otherwise do” (Miriam Budiardjo;
Dasar-Dasar Ilmu Politik).
Oleh
karenanya, penulis yakin, bahwa pelbagai tantangan yang kian kompleks tersebut
dapat diselesaikan selekasmungkin dengan cara bisa beradaptasi dengan realitas
politik pragmatis dan transaksional kekuasaan tersebut.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar