Selasa, 29 Januari 2013


Menyoal Artis Maju Pilkada
Melqy de rantau
Hiruk-pikuk kompetisi politik pemilihan Gubernur Jabar, kali ini benar-benar menarik perhatian publik. Sebab, dalam pertarungan politik menuju kursi Jabar satu, berbeda jauh dengan pilkada sebelumnya, yaitu banyaknya artis yang maju dalam kompetisi pemilihan Gubernur Jawa Barat. Setidaknya ada tiga artis yang bakalan meramaikan pilkada Jabar kali ini, yaitu aktor kawakan Dedi Mizwar, Dede Yusup yang saat ini masih menjabat wakil Gubernur Jabar, dan Rike Diah Pitaloka yang saat ini masih berstatus sebagai angota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan serta incumbent Ahmad Heryawan yang sudah jelas diusung partai Demokrat.
Ikhwal, dari tiga kontestan yang rekam jejaknya berlatar belakang artis dimungkinkan akan mendulang suara yang signifikan. Melalui rangsangan popularitas dan elektabilitas yang tinggi di mata konstituen, artis Dedi Mizwar, Dede Yusup dan Rike Diah Pitaloka akan bersaing ketat dalam kompetisi pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Barat. Sejauh ini, survey menunjukkan, bahwa tiga artis kawakan ini menempati posisi yang tinggi dalam urutan tingkat elektabilitas cagub dan cawagub Jawa Barat. Gun Gun Heryanto dalam bukunya Dinamika Komunikasi Politik (2011) mengatakan, bahwa panggung hiburan dan panggung politik sama-sama menuntut citra, reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain di luar substansi peran dan tanggung jawab publik masing-masing. Salahkah para artis ini terlibat di panggung politik? Tentu saja tidak, karena partisipasi politik merupakan hak setiap warga negara. Terlebih, jika artis-artis itu sejak awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti, dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Namun pertanyaannya, apakah ini sudah terbilang cukup “mewakili” hanya dengan modal popularitas dan elektabilitas tinggi dalam memimpin atau menjadi kepala daerah? Hemat penulis tidak cukup hanya bermodal popularitas dan elektabilitas saja, tetapi harus memiliki sumber daya pengetahuan politik (SDPP) yang memadai, misalnya pengetahuan realitas politik dan birokrasi pemerintahan. Selain itu, apakah mereka bisa berinteraksi denga realitas politik praktis sementara dirinya tidak mempunyai jam terbang politik yang bagus. Dan persoalan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Sebab, menjadi pemimpin tidak seperti menjadi sutradara dalam film atau sinetron, dimana kalau salah hanya bertanggungjawab terhadap pihak terkait. Berbeda dengan menjadi kepala daerah, dimana tanggungjawabnya pun lebih berat, yaitu terhadap rakyat di derah tersebut. Dalam konteks ini, sejatinya daya tarik para artis yang melekat terhadap masyarakat kian meneguhkan dan meyakinkan untuk memilihnya. Namun demikian, masyarakat harus cerdas dan bisa menilai track record dan jam terbang politik demi masa depan Indonesia yang progres.     
Demokrasi Yang Progres  
Era demokrasi elektoral kian memberikan kran terbuka bagi siapa pun termasuk para artis di satu sisi, di sisi lain, perayaan demokrasi di pelbagai daerah sepertinya akan menghadirkan demokrasi kita yang semakin progresif kedepan, karena hijrahnya para artis ke panggung politik merupakan keniscayaan yang tak terelakkan dalam negara demokrasi, karena para artis adalah warga negara yang juga mempunyai hak dan dijamin oleh UUD 1945. Robert A. Dahl dalam bukunya Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat (2001), mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya sebuah proses memerintah. Karena hak adalah unsur penting dalam lembaga politik demokratis, maka demokrasi itu pada intinya adalah juga suatu sistem hak. Hak adalah salah satu bahan utama dalam membangun suatu proses pemerintahan yang demokratis. Oleh karena, harapan kedepan dengan tampilnya artis ke panggung politik akan menghadirkan ornament yang kian bersinar bagi demokrasi Indonesia kedepan, paling tidak pilihan artis yang tampil ke panggung politik akan membawa oase baru bagi masa depan politik Indonesia. Hal ini juga kian mengukuhkan dan meyakinkan terhadap publik, bahwa keberadaan artis tidak hanya sebagai pablik pigur, teapi ia juga bisa dan mampu menjadi pemimpin di tengah kehidupan sosial masyarakat ke arah perubahan yang progresif.  
Tantangan      
Menjadi pemimpin atau kepala derah merupakan tantangan dan tanggungjawab yang berat. Resiko politik sudah barang tentu, mustahil jika kepala daerah yang sudah terpilih tidak tersandera secara politik. Permainan halus melalui simbol-simbol dan kemasan politik tertentu menjadi tantangan tersendiri kedepan, di sisi lain tantangan yang tidak kalah beratnya adalah bagaimana selekas mungkin bisa merealisasikan komitmen awal saat kampanye misalnya akan menjamin kesejahteraan masyarakat. Hemat penulis kedepan ada beberapa tantangan yang akan dihadapi. Pertama, akan berhadapan dengan realitas politik praktis, dimana jika menduduki posisi strategis semisal Gubernur atau wakilnya. Pelbagai kebijakan yang dibuat akan selalu ada tawar-menawar politik. Mungkinkah para artis mampu beradaptasi dengan realitas politik transaksional tersebut? Politik (kekuasaan) memang terkadang menghalalkan segala cara. Di tempuh dengan cara-cara di luar porsi manusia pun sudah biasa hanya untuk mempertahankan kekuasaan saja. Robert A. Dahl dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang pertama The Concept of Power (1957), mengatakan “A has power over B to the extent that he can get B to do something that B would not otherwise do” (Miriam Budiardjo; Dasar-Dasar Ilmu Politik).
Oleh karenanya, penulis yakin, bahwa pelbagai tantangan yang kian kompleks tersebut dapat diselesaikan selekasmungkin dengan cara bisa beradaptasi dengan realitas politik pragmatis dan transaksional kekuasaan tersebut.*****









Tidak ada komentar:

Posting Komentar