Selasa, 29 Januari 2013


Membumikan Makna Sosial Puasa

Melqy de rantau
Tanpa terasa bulan suci Ramadhan kembali menyapa kita. Sebagai umat Islam tentu kita menyambutnya dengan gembira. Karena di bulan ini ada banyak keistimiwaan terutama dalam konteks meningkatkan ibadah mahdah spritualitas kita kepada allah untuk menjadi manusia yang paripurna di hadapan Allah. Di bulan Ramadhan ini sangatlah berbeda dengan bulan-bulan lain, salah satu perbedaannya adalah Al-Qur’an diturunkan pada bulan ini. Sebagaimana firman Allah “bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk dan penerang bagi manusia. Barang siapa menyaksikan bulan tersebut hendaklah ia berpuasa” (QS al-Baqarah: 185). Oleh karena itu, para ulama menyebut bulan Ramadhan sebagai “bulan Kitab Suci” (syahr al-kitab al-muqaddas).Maka momentum puasa kali ini harus dimaknai lebih holistik lagi, puasa bukan sekedar ibadah ritual yang kaku dan menahan lapar tetapi, lebih dari itu puasa sejatinya adalah menahan nafsu dalam bentuk apapun seperti nafsu melakukan korupsi dan suap. Artinya, puasa itu tidak hanya dijadikan ladang untuk menumpuk pahala semaksimal mungkin, sebagai legitimasi untuk mendapatkan tiket lulus masuk surga, tetapi makna sosial puasa mestinya implementsikan secara praktis sesuai dengan visi misi utama Nabi Muhammad diutus yaitu,  untuk li utamima makarimal akhlaq dalam konteks ini puasa juga harus berimplikasi pada perbaikan akhlak, korupsi, serta perbuatan-perbuatan yang berujung pada tindakan yang dilarang oleh Allah SWT.  Zuhairi Misrawi dalam bukunya (2010), mengatakan bahwa memaknai puasa  sejatinya tidak hanya dalam konteks pembebasan individual yang dikenal sebagai rutinitas dan ritualitas belaka sebagaimana berlaku umum, tetapi harus ditarik lebih luas guna membebaskan berbagai masalah sosial-kemasyarakatan. Dalam hal ini membebaskan pelbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, termasuk tindakan korupsi yang semakin akut, massif dan menggurita. 
Makna Sosial Puasa
Puasa mempunyai makna yang amat relevan dalam konteks dimensi kehidupan sosial masyarakat, makna sosial tersebut dapat di manivestasikan setidaknya kedalam dua hal. Pertama, memerhatikan orang miskin atau membantu orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Kedua, memecahkan persoalan yang terkait dengan kepentingan bangsa. Seperti memberantas korupsi, kemiskinan dan kehidupan toleransi serta perdamaian.   
Menurut Zuahiri Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat (2010) mengatakan puasa menghadirkan makna yang amat penting dalam ranah sosial. Berbagai makna itu antara lain: Pertama, puasa sejatinya dapat menggugah kesadaran tentang adanya yang lain, yang membutuhkan uluran tangan dan pemikiran jernih. Puasa harus bermakna bagi upaya mengetuk nurani kita masing-masing agar memberikan perhatian terhadap mereka yang membutuhkan bantuan, pertolongan, dan perlindungan. Tradisi Maidat al-Rahman sebagaimana dipraktikkan di dunia Arab dan dunia Islam umumnya dapat menjadi salah satu tradisi yang sebenarnya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, tetapi juga di bulan-bulan lain. Karena penderitaan tidak hanya terjadi pada bulan puasa, tetapi terjadi di sepanjang masa. Di sinilah ajaran kedermawanan yang tersirat di balik puasa harus selalu dikumandangkan. Kedua, puasa juga harus mampu membangun kesadaran tentang kasih sayang dalam keragaman. Dalam Al-Qur’an disebutkan, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan tidak hanya bagi umat Muslim, tetapi juga kepada umat-umat agama sebelum Islam. Lalu, Tuhan menyebutkan tujuan puasa adalah ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 183). Imam al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb berpendapat, yang dimaksud ketakwaan dalam ayat itu adalah upaya menghilangkan syahwat dan nafsu kebinatangan sehingga tidak mengakibatkan munculnya prahara, kejahatan, dan perselisihan. Dalam hal ini, terutama nafsu yang dimunculkan dari perut dan anggota tubuh di bawah perut (al-bathnu waal-farju).    
            Untuk itu marilah kita jadikan momentum bulan puasa kali ini guna bisa mencapai titik kulminasi kehidupan yaitu, manjadi manusia yang paripurna di mata Allah dengan melaksanakan semua perintah Allah serta menjauh semua larangannya. ***

Reshuffle Bukan Sekadar Bongkar Pasang Kabinet  
Melqy de rantau
Pascamundurnya Andi Alfian Malaranggeng sebagai Menpora isu reshuffle kabinet kian menggema di wacanakan, meski mengundang kalkulasi-kalkulasi prediktif terkait dengan sosok yang akan diganti. Bahkan sekjen PPP M Rohamurmuziy meyakini presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memutuskan terkait reshuffle kabinet akan dilakukan setelah berakhir tahun anggaran 2012. Dan di awal tahun 2013, dan nanti berbasis kinerja bukan like and dislike atau pertimbangan politik semata, (Detik News26/12/2012). Namun yang pasti hanya Tuhan dan SBY sendiri yang tahu kapan dan siapa saja yang akan diganti. Sebab, secara yuridis reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Reshuffle adalah sebuah keharusan jika kinerja menteri tidak memuaskan publik. Indikator utama dalam mengukur baik buruknya kinerja menteri tak lepas dari hasil evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Sejauh ini  kinerja kabinet tidak maksimal dan menunjukkan rapor merah terutama kementerian pemuda dan olahraga. Terlepas dari itu semua, jika reshuffle kali ini benar-benar terjadi, paling tidak reshuffle mampu dan menjawab pelbagai problem kenegaraan yang tak kunjung selesai, serta bisa membawa perubahan ke arah yang baik. Oleh karena itu, reshuffle jangan hanya sekedar bongkar pasang kabinet yang tidak berbasis kompetensi. Tetapi reshuffle harus memperbaiki kinerja dan menghasilkan sesuatu yang baik bagi rakyat negeri ini.
Momentum Perbaikan
Reshuffle kali ini menemukan momentum yang tepat mengingat kinerja pemerintahan SBY-Budeono saat ini  tidak memuaskan publik. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya tentang penegakan dan pemberantasan korupsi di masa pemerintahan presiden SBY. Hasilnya, Kejaksaan Agung dinilai 33,2 persen bersih dari korupsi, sedangkan Polri 39,3 persen. Sementara KPK memperoleh 38,5 persen, TNI 57,2 persen, presiden 51 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, BPK 33,8 persen, DPR 31,1 persen, dan partai politik 30,2 persen. Hasil survei ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Oleh karenanya, reshuffle kali ini menjadi keharusan karena SBY-Budeono gagal menjalankan pemerintahan. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, mengatakan secara kasatmata ada  tiga aspek. Pertama, janji pemberantasan korupsi yang jauh dari realitas. Kedua, penyerapan anggaran yang sangat rendah. Ketiga, masalah lambatnya pengambilan keputusan terhadap pelbagai persoalan krusial yang membutuhkan penanganan cepat (SINDO, 19/9).
Tantangan
Oleh karena itu, reshuffle kabinet kali ini semestinya mempertimbangkan pelbagai aspek serta dilandaskan pada hasil evaluasi kinerja yang tidak memuaskan publik. Artinya, reshuffle idealnya harus jauh dari “transaksi politik” dan bisa keluar dari “sandera politik” partai koalisi yang hanya sekedar bongkar pasang kabinet dan menguntungkan partai koalisi. Tetapi, reshuffle harus memperimbangkan pelbaga aspek, yaitu kapabilitas dan integritas. Jika pertimbangan ini direalisasikan, maka reshuffle bisa menciptakan tatanan pemerintahan yang progresif kedepan, serta meringankan beban dan kinerja pemerintahan SBY–Budeono. Reshuffle kabinet merupakan jalan akhir untuk memperbaiki kinerja yang tidak memuaskan publik. Sementara pada sisi lain reshuffle adalah “jawaban terakhir” untuk mengakhiri kegaduhan politik yang kian memanas. apalagi pada ranah lain problem kenegaraan tak kunjung selesai, seperti korupsi dan penegakan hokum. Inilah sumbu utama problem yang dihadapi bangsa. Maka, harapan kedepan reshuffle bisa menghasilkan kinerja yang progresif kedepan serta menjadi jawaban yang efektif untuk memaksimalkan kinerja pemerintahan SBY-Budeono. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga tantangan. Pertama, reshuffle harus bisa menjawab pelbagai problem yang mendera bangsa saat ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan rendahnya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Kedua,, reshuffle tidak hanya sekedar mengganti atau menggeser sosok, tapi terkait landasan di balik pergantian tersebut, serta misi yang hendak dijalankan dan tujuan yang harus dicapai. Ketiga, SBY harus lebih tegas terhadap partai koalisi. Dalam konteks ini, SBY harus berani keluar dari sandera politik yang sering bikin kegaduhan politik dalam koalisi. Inilah yang dikatakan A Bakir Ihsan dalam bukunya Politik Tak Hanya Kekuasaan: Sisi Lain Kepemimpinan Presiden SBY (2012), partai politik terkadang berwujud sekadar gerombolan kepentingan daripada jembatan bagi pengentasan aspirasi rakyat. Padahal, sejatinya keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi seharusnya lebih mementingkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan awal lahirnya demokrasi, yaitu cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat.  Oleh karena itu, reshuffle memang bukan segala-galanya, namun paling tidak bisa menghadirkan optimisme baru di tengah menurunnya harapan masyarakat terhadap pemerintah. ****

Pemberantasan Korupsi “Melempem”
Melqy de rantau
pelbagai cara yang dilakukan rezim SBY-Budiono guna memberantas korupsi dari bumi Indonesia. Antara lain kesepakatan memorandum of understanding (MoU) yang akan mengawasi 10 area yang rawan dengan tindakan korupsi. MoU tersebut merupakan hasil kerja sama tiga institusi penegak hukum yaitu, Kejagung, Mabes Polri dan KPK. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) jangka menengah (2012-2014) dan jangka panjang (2012-2025) melalui Peraturan Presiden (perpres). yang memiliki tujuan upaya pemerintah dalam  pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai itikad yang berkesinambungan pemerintah demi mewujudkan penyelenggaraan negara yang semakin bersih dan berwibawa. Yang didukung nilai budaya berintegritas. Sejumlah pihak pun juga dilibatkan dalam proses penerbitan strategi antikorupsi tersebut seperti Bappenas, UKP4, lembaga penegak hukum, masyarakat sipil penggiat antikorupsi, serta para pakar lokal maupun internasional. (JURNAS, 18/4).
Namun, ternyata praktik-praktik korupsi justru semakin menggurita dalam lingkaran kekuasaan sendiri. Lihat saja megakorupsi Wisma Atliet SEA Games serta sekolah olahraga Hambalang yang menyeret sejumlah politisi partai demokrat yang tak lain partai penguasa. Padahal SBY pernah mengatakan akan turun gunung memberantas korupsi, namun nyatanya janji busuk tersebut sebatas retorika dan ilusi politik belaka.
Hukum Tak Berkelamin
 Di era reformasi yang serba demokrasi prilaku korupsi semakin bersemi dalam lingkaran birokrasi-kleptokrasi. Tak tanggung koruptor pun mengeruk uang Negara atas nama demokrasi. Inilah “mafia berjubah demokrasi”. Lalu apa Sumbu persoalannya? Menurut penulis setidaknya ada lima hal. Pertama, akibat lemahnya penegakan hukum bagi para koruptor, sehingga koruptor banyak yang berkeliaran diluar sana. Kedua, lemahnya peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi. Ketiga, inkonsistensi dalam menegakkan keadilan dan longgarnya kontrol sosial masyarakat serta kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Keempat, absennya pemimpin yang visioner dan yang amanah, bisa dibilang saat ini otentisitas kepemimpinan menjadi salah satu problem utama yang dihadapi bangsa ini. Dan yang terakhir komitmen penegak hukum terutama KPK sebagai institusi superbody tidak jelas dalam memberantas korupsi. Sebab KPK selalu tebang pillih dalam menindak koruptor.
Hukum Mati
            Korupsi merupakan salah satu kejahatan extra ordinary crime yang memiliki implikasi yang sangat bahaya bahkan lebih bahaya dari penyakit geneosida. Karena praktik korupsi yang                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             dilakukan elite “kleptokrasi” mempunyai komponen  kapitalisasi politik, hukum, dan birokrasi yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi menemukan jalan buntu alias kesulitan, karena praktik korupsinya ada sinergi politik antara kepentingan elit-kapitalis dan penguasa untuk mencapai tujuan ”kejar setoran alias balik modal”, inilah yang sesungguhnya menjadi pintu masuk bagi korupsi politik yang pada akhirnya melahirkan “mafia berjubah demokrasi”, yang melingkar dalam lingkaran “kleptokrasi” yang kemudian merampok uang negara dan rakyat. Prilaku korupsi di negeri ini telah mengakar dalam pelbagai sektor kehidupan yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pelbagai pihak khususnya penegak hukum KPK untuk menyelamatkan bangsa ini dari malapetaka korupsi.
 Menurut  pandangan penulis langkah progresif dalam upaya memberantas korupsi harus dilakukan secara kolektif kolegial dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, dan koncinya adalah ketegasan penegak hukum sebagai syarat mutlak yang mesti dimiliki Negara. Sejauh ini meski upaya pemberantasan korupsi  gencar di publikasikan, tetapi korupsi kian akut dan masif, bahkan aroma “bau busuk korupsi” begitu kentara di institusi penegak hukum, lihat saja penangkapan hakim Syarifuddin oleh KPK beberapa bulan yang lalu. Ini menunjukkan bahwa keberadaan penegak hukum tak lebih dari “preman berkerah putih”, dan yang lebih menyedihkan lagi perseteruan KPK dengan DPR terkait dengan rencana pembangunan gedung baru KPK. Tampaknya perseteruan KPK dengan DPR mencerminkan bahwa, KPK tidak memiliki komitmen menegakkan hukum, KPK lebih memprioritaskan pembangunan gedung baru yang menurut pandangan penulis tidak terlalu urgen. Karena masih ada tugas yang tak kalah pentinya yaitu, kasus korupsi yang berserakan dan belum terselesaikan. Oleh karena, untuk bisa menuntaskan kasus korupsi di negeri ini menurut penulis setidaknya ada langkah progresif yang antisipatif yang sekiranya memiliki efek jera terhadap para koruptor. Pertama, vonis hukuman yang dijatuhkan terhadap koruptor seharusnya di beratkan bahkan kalau perlu di hukum mati. Kedua, setiap pejabat terutama penegak hukum dilarang menerima kompensasi dari seseorang berupa hadiah yang bermuara pada suap menyuap. Nabi Muhammad bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Bahkan Nabi juga mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Ketiga, melibatkan semua komponen bangsa terutama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memberantas korupsi. Artinya penyelesaian harus di lakukan secara kolektif kolegial. Keempat, ketegasan aparat penegak hukum mutlak harus dimiliki untuk menuntaskan semua kasus korupsi. Tetapi jika aparat penegak hukum khususnya KPK sebagai institusi superbody tetap lelep permanen “Melempem”, niscaya pemberantasan korupsi akan mengalami jalan buntu. ***