Selasa, 29 Januari 2013


Pemberantasan Korupsi “Melempem”
Melqy de rantau
pelbagai cara yang dilakukan rezim SBY-Budiono guna memberantas korupsi dari bumi Indonesia. Antara lain kesepakatan memorandum of understanding (MoU) yang akan mengawasi 10 area yang rawan dengan tindakan korupsi. MoU tersebut merupakan hasil kerja sama tiga institusi penegak hukum yaitu, Kejagung, Mabes Polri dan KPK. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) jangka menengah (2012-2014) dan jangka panjang (2012-2025) melalui Peraturan Presiden (perpres). yang memiliki tujuan upaya pemerintah dalam  pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai itikad yang berkesinambungan pemerintah demi mewujudkan penyelenggaraan negara yang semakin bersih dan berwibawa. Yang didukung nilai budaya berintegritas. Sejumlah pihak pun juga dilibatkan dalam proses penerbitan strategi antikorupsi tersebut seperti Bappenas, UKP4, lembaga penegak hukum, masyarakat sipil penggiat antikorupsi, serta para pakar lokal maupun internasional. (JURNAS, 18/4).
Namun, ternyata praktik-praktik korupsi justru semakin menggurita dalam lingkaran kekuasaan sendiri. Lihat saja megakorupsi Wisma Atliet SEA Games serta sekolah olahraga Hambalang yang menyeret sejumlah politisi partai demokrat yang tak lain partai penguasa. Padahal SBY pernah mengatakan akan turun gunung memberantas korupsi, namun nyatanya janji busuk tersebut sebatas retorika dan ilusi politik belaka.
Hukum Tak Berkelamin
 Di era reformasi yang serba demokrasi prilaku korupsi semakin bersemi dalam lingkaran birokrasi-kleptokrasi. Tak tanggung koruptor pun mengeruk uang Negara atas nama demokrasi. Inilah “mafia berjubah demokrasi”. Lalu apa Sumbu persoalannya? Menurut penulis setidaknya ada lima hal. Pertama, akibat lemahnya penegakan hukum bagi para koruptor, sehingga koruptor banyak yang berkeliaran diluar sana. Kedua, lemahnya peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi. Ketiga, inkonsistensi dalam menegakkan keadilan dan longgarnya kontrol sosial masyarakat serta kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Keempat, absennya pemimpin yang visioner dan yang amanah, bisa dibilang saat ini otentisitas kepemimpinan menjadi salah satu problem utama yang dihadapi bangsa ini. Dan yang terakhir komitmen penegak hukum terutama KPK sebagai institusi superbody tidak jelas dalam memberantas korupsi. Sebab KPK selalu tebang pillih dalam menindak koruptor.
Hukum Mati
            Korupsi merupakan salah satu kejahatan extra ordinary crime yang memiliki implikasi yang sangat bahaya bahkan lebih bahaya dari penyakit geneosida. Karena praktik korupsi yang                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             dilakukan elite “kleptokrasi” mempunyai komponen  kapitalisasi politik, hukum, dan birokrasi yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi menemukan jalan buntu alias kesulitan, karena praktik korupsinya ada sinergi politik antara kepentingan elit-kapitalis dan penguasa untuk mencapai tujuan ”kejar setoran alias balik modal”, inilah yang sesungguhnya menjadi pintu masuk bagi korupsi politik yang pada akhirnya melahirkan “mafia berjubah demokrasi”, yang melingkar dalam lingkaran “kleptokrasi” yang kemudian merampok uang negara dan rakyat. Prilaku korupsi di negeri ini telah mengakar dalam pelbagai sektor kehidupan yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pelbagai pihak khususnya penegak hukum KPK untuk menyelamatkan bangsa ini dari malapetaka korupsi.
 Menurut  pandangan penulis langkah progresif dalam upaya memberantas korupsi harus dilakukan secara kolektif kolegial dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, dan koncinya adalah ketegasan penegak hukum sebagai syarat mutlak yang mesti dimiliki Negara. Sejauh ini meski upaya pemberantasan korupsi  gencar di publikasikan, tetapi korupsi kian akut dan masif, bahkan aroma “bau busuk korupsi” begitu kentara di institusi penegak hukum, lihat saja penangkapan hakim Syarifuddin oleh KPK beberapa bulan yang lalu. Ini menunjukkan bahwa keberadaan penegak hukum tak lebih dari “preman berkerah putih”, dan yang lebih menyedihkan lagi perseteruan KPK dengan DPR terkait dengan rencana pembangunan gedung baru KPK. Tampaknya perseteruan KPK dengan DPR mencerminkan bahwa, KPK tidak memiliki komitmen menegakkan hukum, KPK lebih memprioritaskan pembangunan gedung baru yang menurut pandangan penulis tidak terlalu urgen. Karena masih ada tugas yang tak kalah pentinya yaitu, kasus korupsi yang berserakan dan belum terselesaikan. Oleh karena, untuk bisa menuntaskan kasus korupsi di negeri ini menurut penulis setidaknya ada langkah progresif yang antisipatif yang sekiranya memiliki efek jera terhadap para koruptor. Pertama, vonis hukuman yang dijatuhkan terhadap koruptor seharusnya di beratkan bahkan kalau perlu di hukum mati. Kedua, setiap pejabat terutama penegak hukum dilarang menerima kompensasi dari seseorang berupa hadiah yang bermuara pada suap menyuap. Nabi Muhammad bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Bahkan Nabi juga mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Ketiga, melibatkan semua komponen bangsa terutama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memberantas korupsi. Artinya penyelesaian harus di lakukan secara kolektif kolegial. Keempat, ketegasan aparat penegak hukum mutlak harus dimiliki untuk menuntaskan semua kasus korupsi. Tetapi jika aparat penegak hukum khususnya KPK sebagai institusi superbody tetap lelep permanen “Melempem”, niscaya pemberantasan korupsi akan mengalami jalan buntu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar